Asjaw Asep Jawawi

Ada banyak cara untuk merusak atau minimal menciderai amal kebaikan. Orang beriman biasanya sudah tahu apa saja hal-hal yang merusak amal itu menurut beberapa d...

Selengkapnya
Navigasi Web

Biografi


Ada banyak cara untuk merusak atau minimal menciderai amal kebaikan. Orang beriman biasanya sudah tahu apa saja hal-hal yang merusak amal itu menurut beberapa dawuh kanjeng nabi. Namun mungkin banyak yang kurang memperhatikan bahwa hal-hal yang membahayakan amal saleh itu justru kebanyakan berada dalam wilayah yang amat sulit dilihat.

Contoh paling gampang adalah ujub dan sum'ah. Orang tentu cenderung malu jika pamer solat tahajud, misalnya. Malu ini bisa karena takut ibadah tidak diterima Allah karena riya'; atau karena takut citranya sebagai orang saleh di mata orang menjadi rusak. Godaan ujub dan sum'ah amat kuat di antara kedua kondisi ini. Kondisi batin kita yang akan menentukan ke mana pergerakan rasa dan perasaan di hati itu bergerak. Tipuan ini halus sekali dan tidak tampak parameternya. Oleh sebab itu orang yang awas pada pergerakan nafs nya tidak akan berani mengklaim bisa memastikan ibadahnya diterima.

Itu baru satu contoh. Banyak muslihat nafs yang jauh lebih sublim yang merusak atau menurunkan kualitas amal.

Nafs dan iblis mengganggu kemurnian amal ini dalam wilayah batin itu, sehingga banyak yang tak menyadarinya. Iblis tak perlu mendorong orang tidak sholat misalnya. Ia cukup menanamkan sifat dan sikap yang merusak.amal — misal sombong, merasa sudah lebih suci, benci, dusta, dan terutama lalai. Lalai ini semacam benih kerusakan. Jangan heran jika ada yang rajin solat.misalnya, tapi juga rajin mencaci maki, marah-marah, menghina orang lain yang tidak mau ikut pendapatnya atau bahkan berdusta. Orang yang lalai selalu punya justifikasi untuk membenarkan tindakannya yang bertentangan dengan ajaran akhlak lahir maupun batin. Bayangkan begini: seseorang yang paham agama selalu mengajak istighfar, namun pada saat yang sama ia mengawetkan kebencian dan amarahnya dan menggunakan ilmu agamanya untuk menjustifikasi kebencian itu yang ia wujudkan dalam bentuk umpatan, hinaan, dusta bahkan fitnah. Karena justifikasinya didasarkan pada ilmu, ia menjadi tak merasa bersalah atau berdosa saat menganggap diri lebih suci dan merasa berhak memaki dan membenci setiap hari. Jadinya ia menggunakan pengetahuannya tentang dalil ancaman perbuatan buruk lahir-batin untuk "ditamparkan" ke orang lain dan dalil kebaikan untuk diri dan kelompoknya demi menjaga rasa bangga bahwa golongan mereka sajalah yang benar.

Jadi semua itu bermula dari wilayah yang tak kasat mata: hati, akal pikiran, nafsu. Orang yang lalai menjaga wilayah itu akan mudah tertipu oleh dirinya sendiri dan berpotensi jatuh ke dalam kesalahan atau lebih sibuk mencari atau melihat cacat dan kekurangan liyan ketimbang dirinya sendiri. Itu sebabnya mawas diri itu penting; dan mawas diri adalah efek dari muhasabah, muraqabah dan tafakur. Orang yang bisa begitu akan menjadi seperti yang dikatakan kanjeng nabi sebagai orang yang beruntung.

Sayangnya, media sosial menggoda orang untuk lebih mawas ke orang lain ketimbang mawas diri.

Wa Allahu a'lam

search

New Post